Yang ada hanya sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima
ragam kesimpulan yang berbeda. Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di
dunia fiqih, kita pun tidak perlu terlalu risau bila ada pendapat dari ulama
yang ternyata tidak sejalan dengan apa yang kita pahami selama ini. Atau
berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita selama ini.
Dan berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta
dalil masing-masing, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam ilmu
syariah.
1. Pendapat Kedua: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid
1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau
(mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat
kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada
yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya.
Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka
berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu
adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatuth Thalibin karya Imam An
Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat.
Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling
shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya
sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung
atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai
mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas
dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al Huwairits bahwa Rasulullah SAW, “Kembalilah
kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka
shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka
hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi
imam.” (HR.Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muslim 650,249)
Al Khatthabi dalam kitab Ma`alimus Sunan jilid 1
halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat
berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan
hadits ini.
2. Pendapat Pertama: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al Auza`i,
Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan mazhab
Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal
selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya
untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al Fatawa Al Mashriyah halaman
50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Siapa yang mendengar
adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan
kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya.” (Al-Muqni`
1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah
tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan
shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam.
Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju
ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah
mereka dengan api.” (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini
darinya).
3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah
sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy Syaukani dalam kitabnya Nailul
Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling
tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat
syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah
itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena
uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al Hanafiyah tentang sunnah
muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama
dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya
Al Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al Malikiyah dalam
kitabnya Al Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu
berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul
Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara
berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al Ahkam
As-Syar`iyah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy Syarhu Ash
Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan
berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah
dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat.” (HR. Muslim 650,249)
Ash Shan`ani dalam kitabnya Subulus Salam jilid 2
halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini
adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang mendapatkan
ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu
shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat
sendirian kemudian tidur.” (lihat Fathul Bari jilid
2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum
syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka,
shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah
dalam salah satu pendapatnya (lihatMajmu` Fatawa jilid 23 halaman
333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu
Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al Muhalla jilid
4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At
Tamimi, Abu Al Barakat dari kalangan Al Hanabilah serta Ibnu Khuzaimah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersaba, “Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya,
maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.” (HR Ibnu
Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang
munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan
mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski
dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan
didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi
bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum
yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR
Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan
berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya.
Ketika sudah berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilnya dan
bertanya, “Apakah kamu dengar azan shalat?” “Ya,” jawabnya. “Datangilah,” kata
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . (HR Muslim 1/452).
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
No comments:
Post a Comment